Berita

BORN IN AFRICA FESTIVAL (BAFEST) 2019 Ternyata Direncanakan Di Indonesia

Karena Visual Promotion Yang ‘Beracun’ Akhirnya Memberangkatkan Sekelompok ‘Pemuda-Pemuda’ Pekerja Acara Indonesia Untuk Berkarya Di Benua Afrika

daripanggung.com – Komunikasi Visual merupakan suatu proses penyampaian pesan atau informasi dari pihak pengirim pesan kepada pihak penerima pesan melalui suatu media gambar/disain yang akan dengan mudah ditangkap oleh indera penglihatan (mata).

Komunikasi Visual ini membutuhkan seorang komunikator yang kreatif untuk memudahkan proses komunikasi agar berjalan secara efektif.

Manfaat dari Komunikasi Visual itu sendiri salah satunya untuk Menarik Minat Komunikan, dan ini berkaitan dengan tingkat kreativitas dari komunikator. Dan tujuan dari Komunikasi Visual adalah memanfaatkan kreativitas dalam komunikasi agar mudah menstimulasi panca indera, sehingga komunikasi yang efektif dapat tercipta. Dan ketika seorang komunikan tertarik dengan pesan yang disampaikan maka akan terjadi komunikasi yang sukses.

“Mereka tertarik dengan portfolio saya, dan mereka mengontak saya awalnya melalui email di sekitar bulan Juli 2019 setelah Lebaran” runut Rendi Nuansa saat mengembalikan ingatan bagaimana awal mulanya, sehingga dirinya bersama tim yang seluruhnya adalah Pekerja Acara dari Indonesia berangkat untuk berkarya di benua Afrika.

Rendi yang kesehariannya berprofesi sebagai Stage Designer memang kerap kali memajang hasil pekerjaan yang telah diselesaikan, ataupun rencana-rencana disain di Behance, sebuah platform kreatif berbasis komunitas bagi seluruh digital artist di dunia, dan platform ini ber-alamat di UK. Dari platform ini pula-lah kontak Rendi didapatkan oleh pihak Livespot 360, sebuah perusahaan Creative Agency yang berbasis di Nigeria.

RENDI | Production Set Designer & Project Leader

Lama tak ada kabar kemudian Rendi dihubungi kembali pada bulan Oktober, pihak Livespot 360 menerangkan bahwa mereka berencana menggelar sebuah event besar yang diberi nama “Born in Africa Festival (BAFEST) 2019” dan tahun ini adalah pelaksanaan yang kedua di beberapa bulan ke depan, tepatnya bulan Desember 2019.

Komunikasi terus berlanjut, sampai akhirnya, singkat kata terjadilah kesepakatan. Dan pada saat pihak Livespot 360 mengirimkan brief yang cukup membuat Rendi tercengang, karena ternyata luas sekali lingkup pekerjaan di proyek yang ditawarkan ini. Terjabarkan ada area exhibition, area art, dan area main stage. Sambil berekspresi bingung dan tetap menggebu, Rendi kembali menyambung ceritanya, “Awalnya saya merasa tidak bisa meng-handle semua pekerjaan ini sendiri, kemudian saya minta bantuan Rangga Djoned yang kemudian menjadi Art Director dalam proyek ini. Dan secara keseluruhan, proyek ini akan banyak sekali membutuhkan pekerjaan grafis, kemudian saya melibatkan kawan-kawan dari Imajiwa. Ada Yedutun Linus (Ones) yang akan mengurus Multimedia & Design, dan juga Achmad Ali Gufran yang akan melukis di layar gede sebagai Visual Jockey (VJ)”.

RANGGA | Art Director
ONES | Multimedia & Design
ALI | Visual Jockey (VJ)

Brief-nya lumayan rumit, karena penyelenggara mau BAFEST 2019 ini lebih kental dan lebih terasa Afrika-nya dibanding perhelatan tahun sebelumnya” tutur Rangga menambahkan.

Sebagai Art Director di dalam project ini, tentulah bukan hal yang sederhana untuk  membuat semua menjadi satu kesatuan dan menyelaraskan konsep. Kemudian lanjut Rangga menguak tabir hal-ihwal di balik semua ini, “Kami mencoba menghadirkan konsep panggung ‘The Rising Sun’, yang mana kita berpikir itu seperti sinar, seperti matahari, seperti me-representasikan semangat kebangkitan, semangat African Society”.

Cuma mengambil sedikit jeda untuk menghela nafas kemudian Rangga melanjutkan, “Karena Afrika kan luas ya, ada Nigeria, Ghana dan sebagainya. Jadi disana akan berkumpul segala klan di satu area menjadi Born In Africa Festival. Bagaimana mereka merasa bahagia, merasa bangga dengan budayanya, karena bisa dikatakan Born In Africa Festival ini adalah acara Pop Culture-nya para kaum muda milenials di sana karena ada Arts, Fashion, Music, Film, dan sebagainya”.

Bangsa Afrika yang filosofi kehidupannya sejak masa lampau banyak dilukiskan menggunakan ideogram yang menyampaikan suatu makna melalui penampakan gambar yang menyerupai/meniru keadaan fisik objek yang sebenarnya-pun dijadikan ide-ide dasar, dijadikan kendaraan untuk menyampaikan nilai-nilai yang dikemas menjadi sebuah konsep acara pertunjukan.

Jiwa kreativitas Rangga menerawang mengacu kepada Adinkra Symbol, pictogram yang di ciptakan oleh leluhur-leluhur bangsa Ghana ini banyak menceritakan tentang leadership, kreativitas, dan segala filosofi kehidupan.

Di industri kreatif-pun, Adinkra Symbol ini sering digunakan. Seperti di beberapa film Hollywood, sebut saja sebuah film besutan sutradara Ryan Coogler, Black Panther, banyak ditemukan kemunculan simbol-simbol ini di beberapa frame.

Rangga-pun kembali menuturkan, “Saya mau Adinkra Symbol ini masuk ke semua elemen grafis acara Born In Africa Festival dan bisa menjadi identitas acara tersebut. Dan sebagai senyawa dalam sebuah tim, Ali dan Ones dari Imajiwa berhasil menerjemahkan nilai-nilai tersebut melalui karya grafis-nya. Makanya kalau dilihat konsep ‘The Rising Sun’ ini mengapa topeng, mengapa matahari, mengapa warnanya seperti itu, semua ada artinya”.

Nilai-nilai dari Adinkra Symbol yang coba disampaikan dengan kontemporer

Dengan menggabungkan beberapa rasa dan kreativitas akhirnya tim tersebut berhasil menerjemahkan brief dari pihak klien, dan sudah terbungkus rapi dalam bentuk visual grafis. Dan seperti kejatuhan durian runtuh, pihak Livespot 360 merespon dengan sangat positif dan bukan sekedar jawaban persetujuan dari pengajuan gambar sebelumnya. Mereka mengatakan, “Kamu mau gak mengeksekusi ada event yang lain lagi, namanya “Livespot X Festival” dengan bintang tamu Cardi B, dan pelaksanaannya sendiri cuma berjarak 1 (satu) minggu sebelum BAFEST 2019? Saya mau kamu yang gambar juga karena saya suka dan tertarik dengan taste gambar kamu”.

Dengan semakin bergairah Rendi mengajukan gambar yang di minta, dan membuat pihak promoter terkesima. Akhirnya penawaran diajukan lengkap dengan Tim Lighting dan Tim Grafis untuk mengeksekusi event tersebut dan kemudian approval.

“Mereka sangat takjub dan tidak menyangka karena budaya tradisionil mereka bisa diangkat sedemikian rupa menjadi sesuatu yang kontemporer” ujar Rendi menambahkan.

Dalam proses menawarkan suatu produk bisnis tentu ada alur yang harus dilalui menuju kesepakatan, banyak kendala yang terjadi di internal maupun tarik ulur dengan klien.

Klien yang pada awalnya cuma meminta gambar, tapi karena takjub malah mereka menawarkan pekerjaan di event lainnya juga dan sekaligus tim untuk mengeksekusi hajatnya tersebut, ini bisa disebut juga sebagai salah satu kendala. Jasa ‘tukang’ yang tadinya klien meminta sekalian untuk pembangunan panggung dan semua area di venue pada akhirnya di reject karena pertimbangan budget.

Nah..akhirnya para ‘duta bangsa’, para Pekerja Acara dari Indonesia ini tetap harus mengisi pos SDM untuk Lighting Designer. Walaupun sudah terpikir beberapa opsi, dan sampai mem-broadcast iklan ‘mencari Lighting Designer’ dengan kriteria tertentu, yang tentunya adalah seorang Lighting Designer yang pernah men-disain di acara-acara skala internasional, tetap saja belum ada yang bisa mengisi pos tersebut karena beberapa alasan.

Rangga kembali menjabarkan, “Akhirnya keputusan kami tetap jatuh kepada Iwan Hutapea dari Pecahin (Penata Cahaya Indonesia) dan ini pun setelah berdiskusi dengan Rendi. Saya berpikir memang Mas Iwan yang memenuhi kriteria ini. Kita pun mengontaknya, dan ternyata di tanggal tersebut Mas Iwan sudah ada jadwal kerjaan. Kita pun stress lagi. Nama lain setelah Mas Iwan adalah Donie DeBIrkud, yang adalah rekan Mas Iwan juga di Komunitas Pecahin. Tapi kita tidak mau cuma ambil Birkud-nya saja, karena biar bagaimanapun ini event yang besar dan berat, dari negara satu ke negara berikutnya. Kita butuh orang yang bisa bersinergi dan paralel di kedua negara tersebut”.

Iwan Hutapea

Penata Cahaya Indonesia (Pecahin)

Awalnya Rendi sempat mengucap, “Kalau sampai kita tidak mendapatkan Lighting Designer yang mumpuni, kita tidak usah mengambil resiko, kita pergi berempat aja!”

Tetap semangat, usaha dan terus berusaha, dan mungkin juga berkah dari alam semesta yang menyetujui keberangkatan sekelompok pemuda ini untuk berkarya. Dari masalah satu ke masalah lain terlampaui satu persatu dengan dihadirkannya jalan keluar. Tiba-tiba mereka dikabari oleh Iwan, kalau ia menyanggupi jadwal untuk pekerjaan ini dengan catatan setelah menyelesaikan jadwal kerja sebelumnya. Kemudian Iwan juga mengajak Birkud untuk berangkat menyelesaikan tanggung jawab dari kepercayaan ini.

“Kami lebih tenang sekarang!” sergah Rendi. Rendi-pun menyampaikan kepada promoter disana, kalau tim dari Indonesia ini tidak bisa sampai disana tanggal 1 Desember sesuai kesepakatan sebelumnya. “Mungkin karena sudah last minute dan tidak ada pilihan lagi, akhirnya pihak promoter menyetujui” tambah Rendi.

Rendi dan tim cukup lega, masalah teratasi dan klien-pun menyanggupi. Bisa sedikit senyum bukan berarti semua ‘penderitaan’ telah berakhir. Beriringan dengan rejeki yang menghampiri, masalah-masalahpun ternyata selalu seiring sejalan.

Memang untuk menjadi seorang nakhoda yang handal, harus di uji membawa kapalnya untuk melewati dahsyatnya badai yang menerjang.

Waktu terus bergulir dan selama ini habis dipergunakan untuk mempersiapkan segala rencana serta konsep yang akan di hadirkan disana. Dan disaat semakin genting, semakin dekat dengan jadwal yang sudah dibuat, baru terbersit sesuatu yang sangat krusial. TIdak terpikir tapi malah berbahaya jika diabaikan.

Rangga kembali merunut, “Di saat beban pikiran kami semakin memuncak karena harus fokus dengan apa-apa yang harus kita kerjakan di sana nanti dan waktu keberangkatan kami semakin menjelang, baru kami tersadar, kalau harus ada orang yang mengurus segala dokumen kami, kegiatan administrasi kami untuk keberangkatan maupun legalitas kami nanti di sana. Akhirnya kepikiran-lah Irene”.

Dokumen perjalanan, dokumen kerja dan lain-lain adalah hal-hal yang sangat tidak bisa disepelekan. Apalagi jika kita melakukan suatu kegiatan sebagai profesional di negara lain, tentunya tidak bisa kita masuk dengan dokumen wisata.

“Awalnya Rangga meminta bantuan saya lebih ke paper work” pemilik nama lengkap Irene Waty ini mengawali cerita.

IRENE | General Affairs

Ia-pun melanjutkan, “Karena basic saya memang di paper work, di Traffic dan Account Services, jadi saya sudah terbiasa melakukan komunikasi dengan pihak asing (internasional). Dan tanggung jawab pekerjaan saya di tim ini lebih mengurus logistic paper work-nya, administrasi, pemilihan jadwal penerbangan dan maskapai mereka seperti apa, pembuatan visa dan lainnya. Background promoter-nya juga sampai saya cek dulu. Karena kebetulan ada teman seorang diplomat yang ditempatkan untuk benua Afrika, jadi saya sebelumnya tektokan dulu berkomunikasi dengan mereka. Dan mereka memberi signal hijau, mengatakan kalau sudah ok, pihak promoter sudah kredibel dan bereputasi baik di sini. Bahkan pihak KBRI kaget, sangat surprise karena ada Tim Pekerja Acara dari Indonesia yang terlibat di event ini, karena memang menurut mereka Born In Africa Festival ini termasuk acara skala besar di sana. Kemudian saya juga harus make sure, apa mereka di sana benar-benar diperhatikan, bukan pekerja yang dilepas begitu saja. Semua hospitality dan facilities-nya, saya harus pastikan mereka nanti di airport siapa yang jemput, mereka ditempatkan di hotel mana. Saya pastikan ini semua dulu dari sebelum berangkat, supaya tim kami ini merasa aman dan nyaman, jadi mereka bisa tenang melakukan tugasnya di sana. Pihak KBRI-pun mengatakan akan mendukung banget, apalagi yang namanya Warga Negara Indonesia yang sedang berada di Afrika. Dari sisi keamanan hingga logistik mereka akan membantu”.

Check..Check, dan.. Clear..Well Done! Semua telah diperiksa dan dipastikan lengkap, maka berangkatlah tim ini pada tanggal 1 Desember 2019 pukul 00:15 dini hari dari Soetta International Airport, Cengkareng untuk berkarya sebagai Pekerja Acara Indonesia di acara LIVESPOT X FESTIVAL tanggal 7 Desember 2019 di Lagos – Nigeria dan tanggal 8 Desember 2019 di Accra – Ghana. Kemudian berselang sekitar seminggu kemudian di acara BORN IN AFRICA FESTIVAL (BAFEST) 2019 pada tanggal 15 Desember 2019 di Lagos – Nigeria.

Lebih dari 20 jam untuk perjalanan ini, hampir 17 jam penerbangan ditambah 5 jam transit di Dubai ini menjadi jeda waktu yang sangat berharga buat mereka semua, karena paling tidak bisa dipakai untuk sedikit refreshing dan melepas penat dari kegiatan persiapan beberapa waktu sebelumnya. TIdak banyak kejadian selama penerbangan, singkat kata mereka tiba dengan selamat di Murtala Muhammed International Airport, Lagos – Nigeria sekitar pukul 15:40 waktu setempat.

Mereka akhirnya bertemu juga dan dijamu oleh pihak KBRI yang diwakili oleh tim ITPC (Indonesia Trade Promotion Center) yang dikomandani oleh Bapak Bagus Wicaksena. ITPC atau Indonesia Trade Promotion Center itu adalah badan yang mengurus/menjembatani antara Indonesia dan Afrika untuk masalah perdagangan” tegas Rangga.

Acara ramah tamah tersebut pun tidak berlangsung lama, karena tim harus kembali mempersiapkan tugas-tugasnya. Semakin terdesak waktu yang awal-nya bisa disiapkan satu hari menjelang hari H, ternyata pihak promoter baru memberi lampu hijau dan mengatakan baru bisa melakukan supervisi di hari H.

“Tim pelaksana harus kita split” tegas Rendi selaku Project Leader kembali mengenang momen itu.

“Saya sama Birkud berangkat hari itu juga untuk me-supervisi persiapan Livespot X Festival keesokan harinya yang di Accra – Ghana untuk memastikan apakah semuanya sudah sesuai gambar apa belum, mapping-an LED sudah aman apa belum, lighting sudah sesuai apa belum. Dan yang bertugas me-running Livespot X Festival tanggal 7/12 di Lagos adalah Mas Iwan, Ones, Rangga dan Ali” tambah Rendi.

Tidak cukup sampai disitu, ternyata Iwan dan rekan-rekan yang mengeksekusi show tanggal 7/12 tersebut menghadapi beberapa kendala lagi. Banyak perubahan-perubahan yang harus di-adjust sebelum event berlangsung. Tapi syukurnya kendala LED dan lighting tersebut dapat teratasi berkat bantuan dari semua tim yang terlibat di lapangan.

“Padahal kita sudah persiapkan semua dengan pre-program, terprogram dari awal mulai sampai berakhirnya acara. Jadi kita cuma bisa mempergunakan set tata lampu yang ada di wings dan atas, yang tengah tidak boleh dipakai. Akhirnya kita harus memikirkan formasi-formasi baru supaya lebih keren, dan Mas Iwan pun men-disain ulang program tata lampu di acara tersebut,” ungkap Rangga.

Kembali ia menambahkan “Belum lagi kendala yang terjadi karena faktor cuaca, hujan yang lumayan deras di malam itu membuat tambahan PR kami dan seluruh tenaga kerja yang terlibat di sana. Set lampu dan LED  yang sudah terpasang bocor kemasukan air. Setelah hujan agak reda dan kondisi memungkinkan, seluruh crew yang bertanggung jawab dengan perangkat tersebut terpaksa harus menurunkan seluruhnya, dikeringkan dan kemudian dipasang lagi seperti semula. Dan ketika tim dari manajemen Cardi B datang ke venue sekitar jam 8 pagi waktu setempat, seluruh panggung menjadi ‘milik’ mereka. Tim kita disuruh istirahat dan kembali ke hotel. Kami kembali lagi ke venue sekitar jam 15 untuk mencoba sistem dan alat”.

CARDI B | Livespot X Festival – Lagos, Nigeria
CARDI B | Livespot X Festival – Lagos, Nigeria

Kendala-kendala dari faktor cuaca yang seperti itu memang tidak bisa dihindari oleh para Pekerja Acara apalagi saat harus melakukan set up di Outdoor Venue. Yang penting seluruh pekerja yang terlibat sadar tentang keselamatan kerja, dan melengkapi diri dengan peralatan keamanan yang cukup dan memenuhi standar.

Set Livespot X Festival – Lagos, Nigeria

Secara personal dan sebagai profesional, tentunya juga dituntut untuk berperilaku yang baik dengan siapapun dan dimanapun. Karena di saat kita bekerja dengan pihak yang sebelumnya kita belum pernah bertemu, apalagi negara yang sama sekali kita baru mengunjungi, tentunya banyak perbedaan sistem, budaya kerja, dan perilaku.

Hal seperti ini-pun disampaikan oleh Donie DeBirkud yang angkat bicara, “Mekanisme kerja para Pekerja Acara di Indonesia tidak kalah-lah dengan mereka, kita mampu menyelesaikan segala sesuatunya dengan lebih cepat dan efisien. Karena yang sudah-sudah saya melihat jika kita bekerja tuh tidak berkelompok”. Lelaki yang berprofesi sebagai Lighting Designer dan akrab di sapa Birkud ini kembali menambahkan, “Malah orang kita lebih terbiasa saat bekerja itu membagi tugas, ada yang di sayap kiri, ada yang di sayap kanan, ada yang di panggung. Jadi lebih efisien dan waktu penyelesaiannya bisa jadi lebih cepat”.

BIRKUD | Lighting Designer

Dasarnya mereka-mereka ini memang para Pekerja Acara yang sudah terbiasa menghadapi masalah-masalah di lapangan, sudah siap tempur di segala medan, selesai-lah sudah tugas mereka di hari pertama ini. Walaupun banyak yang meleset dari rencana semula, karena perhelatan ini baru selesai sekitar jam 3 dini hari waktu setempat (8/12) dari estimasi sebelumnya rundown selesai jam 1 waktu setempat.

IWAN HUTAPEA | Lighting Designer

Demikian penuturan Iwan Hutapea membayangkan kondisi letihnya saat itu, “Selesai acara itu di jam 3 dini hari baru kita bisa kembali ke hotel. Tidak banyak waktu, bisa dibilang kita semua belum sempat beristirahat dan harus kembali standby di lobby hotel jam 6 pagi waktu Lagos. Karena kita harus ke Ghana dengan rencana terbang jam 8, jadi kita harus sudah tiba di airport jam 7 atau satu jam sebelum penerbangan. Rencana tinggal rencana, akhirnya karena beberapa sebab kita baru bisa berangkat dari hotel sekitar jam 8 dan sampai di airport sekitar jam 9 atau 9.30 waktu Lagos. Karena kita terbang ke Ghana menggunakan pesawat charter, jadi tidak bisa semudah itu langsung berangkat, harus menghadapi prosedur imigrasi, check in dan lain-lainnya. Baru kemudian sekitar jam 14-an kita masuk Boarding Area dan kita baru berangkat dan menempuh perjalanan sekitar 1 jam penerbangan. Jadi kita baru landing di Kotoka International Airport, Accra – Ghana itu sekitar jam 16, atau jam 15 waktu lokal Accra, karena antara Lagos dan Accra ada perbedaan waktu 1 jam. Setelah mendarat, kita harus melakukan proses imigrasi melalui Visa On Arrival (VOA). Kita baru bisa keluar dari airport tersebut jam 17 dan langsung menuju venue. Sampai venue sekitar jam 18 dan ternyata acara sudah dimulai dari jam 14 waktu lokal Accra”.

Set Livespot X Festival – Accra, Ghana

Rangga kembali bersuara mencoba menambahkan, “Saat kita tiba di venue, FOH Speaker di panggung itu sudah bunyi, untungnya matahari di langit-pun masih terang, jadi set tata lampu belum perlu terlalu mendominasi. Dan ternyata, pihak penyelenggara di sana sempat menahan pengunjung di pintu masuk untuk memastikan kesiapan produksi acara”.

Beda venue beda tantangan. Seperti apa diungkapkan Rendi yang berangkat sebelumnya bersama Birkud untuk melakukan supervisi, “Pada awalnya, panggung, disain dan semuanya memang rencananya sama untuk di kedua venue Livespot X Festival ini, yang di Lagos maupun yang di Accra. Jadi kita sudah punya set program untuk Tata Cahaya-nya dan Multimedia yang tidak perlu di render ulang. Ternyata semua itu perlu di scale down untuk venue di Accra, karena panggungnya lebih kecil, spesifikasi alat-alat tidak memadai, dan banyak faktor lainnya”.

Livespot X Festival – Accra, Ghana

Sampai pada akhirnya tugas mereka di Livespot X Festival ini selesai sudah, mereka berkreasi di kedua venue, di Lagos dan Accra dengan baik. Walaupun dengan keterbatasan, dan mereka sendiri mengakui kalau tidak bisa maksimal di 2 event tersebut. Beberapa faktor penyebab di antaranya karena keterbatasan waktu untuk rehearsal, juga keterbatasan alat-alat yang tersedia karena untuk memenuhi kebutuhan riders Cardi B.

Dan itu semua pun terkuak saat evaluasi di hari berikutnya, saat mereka duduk bareng dengan profesional dari Afrika Selatan yang di hire oleh promoter sebagai Production Manager di perhelatan ini. Dia mengatakan, “Hey You.. kalau You minta alat tersebut di Johannesburg atau di Capetown tidak masalah, tapi ini di Lagos..ada keterbatasan barang-barang tersebut di sini”.

Memang bagi siapapun pekerja kreatif, saat apa yang sudah direncanakan tidak bisa tersampaikan dengan maksimal, itu bagai sebuah pukulan. Pasti terasa seperti beban.

Tapi tidak bisa juga terlarut dengan keresahan, karena beberapa hari ke depan masih ada banyak yang harus dikerjakan untuk sesuatu yang lebih besar.

Tim-pun berangkat kembali ke Lagos mempersiapkan Born In Africa Festival (BAFEST) 2019. Ketidakpuasan tim karena merasa tidak bisa maksimal di dua perhelatan sebelumnya terbayar lunas disini. Keseluruhan show, panggung dan seluruh area venue BAFEST 2019 ini sepenuhnya milik tim Pekerja Acara dari Indonesia ini.

Born In Africa Festival (BAFEST) 2019 – Lagos, Nigeria

Dengan sumringah Rendi menjelaskan, “Disinilah kita menunjukan standar kerja kita sebenarnya. Kami menuai pujian bukan cuma dari pihak Livespot 360 selaku promoter, tetapi juga tim dari Afrika Selatan yang mendampingi kami. Kalian luar biasa, kalian seperti membuat sebuah pertunjukan sirkus disini, kata mereka. Dari yang awalnya mereka meragukan kami, tapi pada akhirnya mereka malah takjub. Mereka gak menyangka persembahan tata lampu, grafis dan semuanya bisa sync dengan baik. Mereka kagum dengan semua itu karena sebelumnya mereka tidak pernah terpikir untuk memperlakukan bagian per bagian sampai sebegitu detail”.

Jadi di beberapa negara bagian Afrika, secara gear dan equipment pertunjukan yang tersedia sangatlah mumpuni. Juga dalam hal sumber daya manusia. Kesadaran keselamatan kerja pun sangat tinggi dan terjaga. Seandainya ada acara yang termasuk skala besar, biasanya penyelenggara membawa manpower dari Afrika Selatan. Sebut saja untuk Rigging Installer, orang-orang LED, sampai ke Event Director, Program Director, Broadcaster dan beberapa lainnya mereka masih import dari Afrika Selatan. Tetapi dari sisi kreativitas acara, pekerja seni Indonesia harus diacungi jempol.

Beberapa dari mereka yang memang harus saling berkoordinasi dengan tim dari Indonesia ini sempat panik dan bingung saat Rendi melontarkan pertanyaan seputar persiapan event yang tinggal ‘hitungan hari’. Rendi menyampaikan ke Producer yang in charge dan kemudian menekankan kepada mereka, “Saya kan harus menyiapkan konten, menyiapkan lagu-lagu, jadi saya perlu tahu bagaimana flow show-nya!”. Si Producer pun kembali menjawab, “Ok..nanti saya tanyakan!”

Rendi pun melanjutkan ceritanya, memaparkan mengapa harus seperti itu, “Ya mau bagaimana dong, grafis kan perlu waktu untuk menggambar, untuk me-render. Lighting juga butuh waktu untuk men-sinkron-kan dengan music, dengan beat, dengan koreografi tarian di sana. Belum lagi tata cahaya dan grafis yang perlu dikawinkan, itu membutuhkan proses dan butuh waktu. Bisa jadi karena mereka kurang memahami proses itu. Sedangkan kita tidak, dan saya yakin juga temen-temen Pekerja Acara lainnya di Indonesia malah lebih kreatif dalam mempersiapkan segala sesuatunya. Kita melakukan pre-program, sekali tekan queu dari grafis, dari resolume..udah, run semua”.

Di akhir acara mereka sangat takjub dan puas sekali dengan hasil karya dari teman-teman Lighting, Grafis dan Productions Set ini. Kepuasan pihak promoter sebenarnya sudah terlihat di tengah-tengah acara”. Rendi kembali tertawa dan kemudian melanjutkan, “Lucunya..kan yang namanya Opening Ceremony itu cuma sekali, cuma di awal saat mulai. Nahh..pihak promoter saking terkesimanya dengan sesi Opening Ceremony yang berdurasi sekitar 12 menit, yang salah satunya ada gimmick 12 orang bermain perkusi sambil di gantung dengan crane..itu minta di play lagi. Mereka suka itu, dengan alasan saat mulai acara tadi belum banyak yang hadir, jadi belum banyak yang melihat. Ya sesuai keingininan klien kita ulang lah Opening Ceremony tersebut, yang padahal gimmick-gimmick tersebut baru kita pikirkan di sana saat H-3”.

Opening Ceremony – Born In Africa Festival (BAFEST) 2019 – Lagos, Nigeria

Keseruan bagian-bagian pekerjaan dan perjalanan yang diuraikan di atas menunjukan bagaimana pentingnya, dan semua berawal mulanya dari kekuatan sebuah Visual Promotion bagi sebuah bisnis ataupun produk. Dari yang awalnya hanya sebuah gambar, ternyata membawa para ‘pemuda-pemuda’ Pekerja Acara dari Indonesia ini melanglang buana dan berkarya sampai ke benua Afrika.

Dampak lainnya juga dirasakan Rendi dan tim saat di akhir acara mereka dihampiri oleh pihak promoter, bukan sekedar pujian, tapi mereka mengatakan, “Tahun depan kalian harus kesini lagi. Atau mungkin tidak sampai Desember tahun depan, karena di pertengahan tahun 2020 ini kami juga punya sesuatu yang sangat istimewa. Dan kami mau kalian tim dari Indonesia yang kembali merencanakan sekaligus mengeksekusi event tersebut”.

Lelahnya terbayar, Rendi dan tim pulang kembali ke Indonesia dengan kepuasan dan kebanggaan. Bangga karena bisa menunjukan ke dunia luar, kalau kemampuan, kreativitas, semangat, sistem dan budaya kerja para Pekerja Acara Indonesia patut diperhitungkan.

Dan tentunya kebanggaan ini bukan hanya milik tim tersebut, tapi www.daripanggung.com juga merasa bangga karena menjadi media di Indonesia yang pertama di undang melakukan wawancara secara ekslusif untuk memberitakan perjalanan mereka berkarya. (danny fe)

Tags
Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close
Close